Hukum penistaan agama

  Hukum penistaan dicabut
  Larangan tingkat provinsi
  Denda dan larangan
  Hukuman penjara
  Hukuman mati

Hukum penistaan agama adalah hukum yang melarang penistaan agama, yaitu sikap tidak sopan atau penghinaan terhadap tokoh-tokoh suci, kelompok agama, benda suci, adat, atau kepercayaan. Hukum penistaan agama adalah "salah satu hukum ujaran kebencian tertua yang masih bertahan sampai sekarang".[1] Menurut Pew Research Center, sekitar seperempat negara di dunia (26%) memiliki hukum atau kebijakan anti-penistaan agama per 2014.[2]

Di beberapa negara, hukum penistaan agama dipakai untuk melindungi agama mayoritas, sedangkan di negara-negara lain, hukum ini dipakai untuk menjamin perlindungan terhadap agama minoritas.[3][4][5]

Selain larangan penistaan agama atau pencemaran nama baik agama, hukum penistaan agama mencakup semua hukum yang memberi ganti rugi untuk pihak-pihak yang tersinggung. Hukum penistaan agama biasanya melarang permusuhan terhadap agama dan kelompok agama, pencorengan agama dan pemeluknya, perendahan agama dan pemeluknya, menyinggung rasa ketaatan beragama, atau sikap melawan agama. Di sejumlah negara, hukum penistaan agama meliputi hukum ujaran kebencian yang melebihi larangan ujaran kebencian dan kekerasan. Beberapa hukum penistaan agama seperti yang ada di Denmark tidak hanya memidanakan "ujaran berbentuk kritik," tetapi juga memidanakan "ujaran berbentuk hinaan."[6]

Meski tidak menekankan hukum penistaan agama secara eksplisit, Pasal 20 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasional mewajibkan setiap negara mengesahkan undang-undang yang menolak "setiap gerakan yang mengusung kebencian bangsa, ras, atau agama yang bisa memicu diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan."[7]

  1. ^ Mansell, Robin; Ang, Peng Hwa; Steinfield, Charles; Pieter Ballon; Shenja van der Graaf; David J. Grimshaw (17 February 2015). The International Encyclopedia of Digital Communication and Society (dalam bahasa English). John Wiley & Sons. hlm. 150. ISBN 9781118290743. Diakses tanggal 3 March 2018. 
  2. ^ Angelina E. Theodorou (29 July 2016). "Which countries still outlaw apostasy and blasphemy?". Pew Research Center. Diakses tanggal 7 June 2016. 
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama IceNews
  4. ^ Scolnicov, Anat (18 October 2010). The Right to Religious Freedom in International Law: Between Group Rights and Individual Rights (dalam bahasa English). Routledge. hlm. 261. ISBN 9781136907050. A different argument for the retention of the offence of blasphemy (and for its extension to the protection of all religions in the UK [the offence protected only the majority religion]) has been offered by Parekh: a majority religion does not need the protection offered by an offence of blasphemy, but minority religions do because of their vulnerability in the face of the majority. 
  5. ^ "Danes overwhelmingly support their own blasphemy law" (dalam bahasa English). The Copenhagen Post. 21 September 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-07. Diakses tanggal 17 May 2016. Denmark's own blasphemy law makes it an offence to "mock legal religions and faiths in Denmark", and according to a study carried out on behalf of the liberal think-tank CEPOS, 66 percent of the 1,000 Danes questioned answered that the law should not be repealed. 
  6. ^ Hare, Ivan; Weinstein, James (18 November 2011). Extreme Speech and Democracy (dalam bahasa English). Oxford University Press. hlm. 187. ISBN 9780199601790. 
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hashemi2008

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search